MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
“HUKUM KETENAGAKERJAAN”
OLEH
NURHAK
2010010154
MANAJEMEN D
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
MUHAMMADIYAH MAMUJU
2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur
penulis panjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Makalah ini merupakan salah satu tugas dari
Mata Kuliah Aspek hukum Dalam Ekonomi, dengan selesainya makalah ini tidak
terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan kepada
penulis. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.
Ibu Irdha
(selaku Dosen Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Ekonomi).
2.
Rekan-rekan mahasiswa.
Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan makalah ini, baik dari materi maupun
tehnik penyajiannya, mengingat kekurangannya pengetahuan dan pengalaman
penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan.
Mamuju,
15 Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………….……………………………………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………1
A.
LATAR BELAKANG MASALAH…………………………………………1
B.
MAKSUD DAN TUJUAN…………………………………………………4
C.
PERMASALAHAN………………………………………………………...5
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………….6
A.
SEJARAH HUKUM KETENAGAKERJAAN……………………………6
B.
PENGERTIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN ……………………...7
C.
PENGEMBANGAN DARI PERMASALAHAN…………………………9
D.
PELAKSANAAN HUBUNGAN KERJA DI INDONESIA……………..15
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………..20
A.
KESIMPULAN…………………………………………………………...20
B.
SARAN…………………………………………………………………...20
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pembangunan
nasional, khususnya bidang ketenagakerjaan diarahkan untuk sebesar-besarnya
bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pekerja. Oleh karena itu hukum
ketenagakerjaan harus dapat menjamin kepastian hukum, nilai keadilan, asas
kemanfaatan, ketertiban, perlindungan dan penegakan hukum. Seiring dengan
pembangunan bidang ketenagakerjaan, tampak maraknya para pelaku dunia usaha
berbenah diri pasca krisis ekonomi dan moneter untuk bangun dari mimpi yang
buruk, serta terpaan gelombang krisis ekonomi global yang melanda asia
tenggara, di mana Indonesia tidak lepas dari terpaan gelombang tersebut.
Pemerintah dalam upaya mengatasi krisis ekonomi global bersama dengan
masyarakat, terutama para pelaku usaha, salah satu alasan pokok untuk
menstabilkan perekonomian dan menjaga keseimbangan moneter serta menghindari
kebangkrutan sebagian besar perusahaan yang berdampak terhadap sebagian besar
nasib para pekerja pabrikan dan berujung pada pemutusan hubungan kerja.
Pemerintah selaku pembina,
pengawas, dan penindakan hukum melaksanakan aturan hukum dengan hati-hati
mengingat posisi pengusaha dan pekerja merupakan aset potensial bagi negara,
sekaligus subyek pembangunan nasional yang berkedudukan sama dihadapan hukum.
Aturan hukum sebagai pedoman tingkah laku wajib dipatuhi para pihak dan dengan
penuh rasa tanggung-jawab. Kepatuhan bukan merupakan paksaan, melainkan budaya
taat terhadap ketentuan hukum.
Pada dasarnya hukum
ketenagakerjaan mempunyai sifat melindungi dan menciptakan rasa aman, tentram,
dan sejahtera dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hukum
ketenagakerjaan dalam memberi perlindungan harus berdasarkan pada dua aspek, Pertama,
hukum dalam perspektif ideal diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan
(heterotom) dan hukum yang bersifat otonom. Ranah hukum ini harus dapat
mencerminkan produk hukum yang sesuai cita-cita keadilan dan kebenaran,
berkepastian, dan mempunyai nilai manfaat bagi para pihak dalam proses
produksi.
Hukum ketenagakerjaan tidak
semata mementingkan pelaku usaha, melainkan memperhatikan dan memberi
perlindungan kepada pekerja yang secara sosial mempunyai kedudukan sangat
lemah, jika dibandingkan dengan posisi pengusaha yang cukup mapan. Hukum
memberi manfaat terhadap prinsip perbedaan sosial serta tingkat ekonomi bagi
pekerja yang kurang beruntung, antara lain seperti tingkat kesejahteraan,
standar pengupahan serta syarat kerja, sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan selaras dengan makna keadilan menurut ketentuan Pasal 27
ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa : “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Demikian pula ketentuan
Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa : “Setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja” ; Kedua,
hukum normatif pada tingkat implementasi memberikan kontribusi dalam bentuk
pengawasan melalui aparat penegak hukum dan melaksanakan penindakan terhadap
pihak-pihak yang tidak mematuhi ketentuan hukum.
Hukum dasar memberikan kedudukan
kepada seseorang pada derajat yang sama satu terhadap lainnya. Hal ini berlaku
pula bagi pekerja yang bekerja pada pengusaha, baik lingkungan swasta (murni),
badan usaha milik negara maupun karyawan negara dan sektor lainnya. Hal ini
tersurat dalam ketentuan Pasal 28I UUD 1945, yakni : “Setiap orang berhak bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun…”, bahkan Pasal
28I ini memberikan perlindungan bagi mereka, meluputi pula pekerja atas
perlakuan diskriminatif. Pernyataan ini menegaskan adanya kewajiban bagi
pengusaha untuk memperlakukan para pekerja secara adil dan proporsional sesuai
asas keseimbangan kepentingan. Dalam posisi ini pekerja sebagai mitra usaha,
bukan merupakan ancaman bagi keberadaan perusahaan.Hukum sebagai pedoman
berperilaku harus mencerminkan aspek keseimbangan antara kepentingan
individu, masyarakat, serta negara. Di samping mendorong terciptanya
ketertiban, kepastian hukum, kesamaan kedudukan dalam hukum dan keadilan.
Hukum ketenagakerjaan
(Undang-Undang No. 13 Tahun 2003) ditetapkan sebagai payung hukum bidang
hubungan industrial dan direkayasa untuk menjaga ketertiban, serta sebagai
kontrol sosial, utamanya memberikan landasan hak bagi pelaku produksi (barang
dan jasa), selain sebagai payung hukum hukum ketenagakerjaan diproyeksikan
untuk alat dalam membangun kemitraan. Hal ini tersurat dalam ketentuan Pasal
102 (2) dan (3) UU. No. 13 Tahun 2003). Ketentuan ini terlihat sebagai aturan
hukum yang harus dipatuhi para pihak (tanpa ada penjelasan lebih lanjut apa
yang dimaksudkan dengan makna kemitraan). Sekilas dalam ketentuan Pasal 102 (3)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, menyatakan bahwa : “…pengusaha mempunyai fungsi menciptakan
kemitraan…” Hal ini belum memberi kejelasan yang konkrit bagi
masyarakat industrial yang umumnya awam dalam memahami ketentuan hukum.
Ironinya hukum hanya dilihat sebagai abstraktif semata.
Demikian pula terhadap Pasal 102
ayat 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 bahwa pada intinya pekerja dalam
melaksanakan hubungan industrial berkewajiban untuk menjalankan pekerjaan demi
kelangsungan produksi, memajukan perusahaan, dan sisi lain menerima hak sebagai
apresiasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya, selain menjalankan fungsi lainnya,
melalui serikat pekerja untuk memperjuangkan kesejahteraan anggota serta
keluarganya dengan tetap menjaga ketertiban dan kelangsungan produksi barang
dan/atau jasa dan berupaya mengembangkan keterampilan serta memajukan
perusahaan.Secara tersirat hal ini merupakan bentuk partisipasi pekerja dalam
keikutsertanya menjaga ketertiban, memajukan perusahaan, serta memperhatikan
kesejahteraan, namun redaksi ini kurang dapat dipahami para pihak, bahkan
pemaknaan demikian kurang adanya keperdulian, khususnya dari pihak pengusaha,
sehingga hal ini sering memicu perselisihan hak dan kepentingan yang berujung
pada aksi unjuk rasa serta mogok kerja.
Jika makna ini dipahami sebagai
kemitraan, maka akan menjauhkan dari pelbagai kepentingan pribadi.Berbeda, jika
masyarakat industrial memahami sebagai aturan hukum yang harus dipatuhi tanpa
harus mendapatkan teguran dari pemerintah sesuai ketentuan Pasal 102 (1)
Undang-Undang No.13 Tahun 2003, dan memahami sebagai landasan dalam membangun
hubungan kemitraan, hanya saja ketidak patuhan dalam membangun kemitraan tidak
ada sanksi hukum yang mengikat bagi para pihak. Hal ini sebagai kendala dalam
menciptakan hubungan kemitraan.
Sekilas telah disebutkan dasar filosofis
mengenai ketentuan Pasal 102 (2) dan (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003,
bahwa penanaman asas keseimbangan kepentingan dalam aturan hukum
yang mengandung nilai kejujuran, kepatutan, keadilan, serta tuntutan moral,
seperti hak, kewajiban dan tanggung jawab) dalam hubungan antara manusia sesuai
dengan sila-sila Pancasila, di mana pekerja dan pengusaha mempunyai hubungan
timbal balik yang bernilai kemanusiaan, tidak ada diskriminasi, serta mencari
penyesuaian paham melalui musyawarah-mufakat dalam membangun kemitraan dalam
hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, dan melalui bangunan kemitraan
para pihak menjaga kondisi kerja secara kondusif, dengan tetap memperhatikan
kesejahteraan para pekerja maupun keluarganya, sebaliknya para pekerja
melaksanakan kewajiban sesuai aturan yang berlaku dan dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan kerja.
Hal ini pada gilirannya akan
tercipta suatu bangunan kemitraan. Keserasian ini merupakan manifestasi,
bahwa pengusaha dan pekerja harus menerima serta percaya segala apa yang
dimiliki merupakan amanah Allah untuk dapat dimanfaatkan bagi kepentingan
manusia. Perekat pada ranah kenegaraan dan sekaligus sebagai landasan filosofis
hubungan sosial, yakni hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, yaitu
Pancasila.
Pancasila merupakan ajaran yang
mengandung nilai fundamental dalam hubungan sesama manusia dan mencerminkan
asas normatif sebagai dasar perekat hubungan kerja, khususnya antara pengusaha
dengan pekerja, alam, negara, dan Tuhannya. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila
akan tercipta hubungan harmonis, sejahtera, terjalin keseimbangan hak dan
kewajiban, khususnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja karena
itulah perlu ditanamkan nilai kejujuran, transparansi, asas keseimbangan yang
berkeadilan serta rasa kekeluargaan dan kegotong-royongan yang berkelanjutan
sehingga nilai-nilai tersebut, akan hidup dan berkembang secara lestari.
B. PERMASALAHAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan rumusan masalah
antara lain yaitu :
·
Apakah hukum ketenagakerjaan dapat diproyeksikan
sebagai hukum yang mempunyai landasan normatif, yaitu berkepastian hukum dan
landasan filosofis yang berdasar keadilan serta kemanfaatan bagi pelaku produksi
(barang atau jasa)?
·
Bagaimana hukum ketenagakerjaan dalam
pelaksanaan hubungan kerja di Indonesia?
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun salah satu tujuan dari
Hukum ketenagakerjaan ini adalah untuk mengantarkan dan memperluas pandangan
mahasiswa/(i) tentang sejarah hukum ketenagakerjaan dan memberikan kesempatan
bagi mereka untuk dapat menambah pengetahuan tentang perjanjian kerja dan
pelaksanaan hubungan kerja di Indonesia.
Berdasarkan uraian latar belakang
di atas maka Penulis tertarik untuk membuat suatu karya tulis ilmiah dalam
bentuk makalah yang berjudul: “HUKUM KETENAGAKERJAAN.”
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH HUKUM KETENAGAKERJAAN
Asal mula adanya Hukum
Ketanagakerjaan di Indonesia terdiri dari beberapa fase jika kita lihat pada
abad 120 sebelum M. Ketika bangsa Indonesia ini mulai sudah dikenal adanya
sistem gotong-royong, antara anggota masyarakat. Dimana gotong-royong merupakan
suatu sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga yang
dimaksudkan untuk mengisi kekurangan tenaga, pada masa sibuk dengan tidak
mengenal suatu balas jasa dalam bentuk materi. Sifat gotong-royong ini memiliki
nilai luhur dan diyakini membawa kemaslahatan karena berintikan kebaikan,
kebijakan, dan hikmah bagi semua orang gotong-royong ini nantinya menjadi
sumber terbentuknya hukum ketanagakerjaan adat. Dimana walaupun peraturannya tidak
secara tertulis , namun hukum ketenagakerjaan adat ini merupakan identitas
bangsa yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia dan merupakan penjelmaan
dari jiwa bangsa Indonesia dari abad keabad.
Setelah memasuki abad Masehi, ketika sudah mulai berdiri suatu kerajaan
di Indonesia hubungan kerja berdasarkan perbudakan, seperi saat jaman kerajaan
hindia belanda pada zaman ini terdapat suatu system pengkastaan , seperti :
brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan paria. Dimana kasta sudra merupakan kasta
paling rendah golongan sudra dan paria ini menjadi budak dari kasta brahmana,
ksatria, dan waisya mereka hanya menjalankan kewajiban sedangkan hak-haknya
dikuasai oleh para majikan. Sama halnya dengan islam walaupun tidak secara
tegas adanya sistem pengangkatan namun sebenarnya sama saja . Pada masa ini
kaum bangsawan (Raden) memiliki hak penuh atas para tukangnya. Nilai-nilai
keislaman tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena terhalang oleh dinding
budaya bangsa yang sudah berlaku 6 abad sebelumnya.
Pada saat masa pendudukan hindia belanda di Indonesia kasus perbudakan
semakin meningkat perlakuan terhadap budak sangat keji dan tidak berperikemanusiaan.
Satu-satunya penyelsaiannya adalah mendudukan para budak pada kedudukan manusia
merdeka. Baik sosiologis maupun yuridis dan ekonomis. Tindakan belanda dalam
mengatasi kasus perbudakan ini dengan mengeluarkan staatblad 1817 no. 42 yang
berisikan larangan untuk memasukan budak-budak ke pulau jawa. Kemudian tahun
1818 di tetapkan pada suatu UUD HB (regeling reglement) 1818 berdasarkan pasal
115 RR menetapkan bahwa paling lambat pada tanggal 01-06-1960 perbudakan
dihapuskan.
Selain kasus hindia belanda mengenai perbudakan yang keji dikenal juga
istilah Rodi yang pada dasarnya sama saja. Rodi adalah kerja paksa mula-mula
merupakan gotong-royong oleh semua penduduk suatu desa-desa suku tertentu. Namun
hal tersebut di manfaatkan oleh penjajah menjadi suatu kerja paksa untuk
kepentingan pemerintah hindia belanda dan pembesar-pembesarnya.
B. PENGERTIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
Indonesia ialah negara hukum, hal ini tentunya kita telah mengetahuinya karena dalam Undang-Undang Dasar Negra Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3) telah menyatakan demikian. Sebagai negara hukum segala aspek kehidupan bangsa Indonesia diatur oleh hukum termasuk dalam hubungan industrial yang menyangkut tenaga kerja. Pengaturan ini demi terpenuhinya hak para tenaga kerja agar tidak terjadi eksploitasi dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia tenaga kerja.
·
Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997
tentang ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan ketenagakerjaan itu sendiri
adalah segala hal yangberhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama dan sesudah masa kerja.
·
Hukum ketenagakerjaan menurut Imam Soepomo
diartikan sebagai himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang
berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan
menerima upah.
Pengertian itu identik dengan
pengertian hukum perburuhan. Ruang lingkup hukum ketegakerjaan saya lebih luas
dari pada hukum perburuhan. Hukum ketenagakerjaan dalam arti luas tidak hanya
meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan pengusaha,
tetapi juga pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan
atas tanggung jawab dan resiko sendiri. Di Indonesia pengaturan tentang
ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Disebutkan dalam undang-undang itu bahwa hukum ketenagakerjaan
ialah himpunan peraturanmengenai segala hal yang berhubungan dengan tenaga
kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Fungsi Hukum Ketenagakerjaan
Menurut Profesor Mochtar kusumaatmadja, fungsi hukum itu adalah sebagai sarana
pembaharuan masyarakat. Dalam rangka pembangunan, yang dimaksud dengan sarana
pembaharuan itu adalah sebagai penyalur arah kegiatan manusia kearah yang
diharapkan oleh pembangunan.
Pembangunan ketenagakerjaan
sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan
pembangunan nasional diarahkan untuk mengatur, membina dan mengawasi segala
kegiatan yang berhubungan dengan tenaga
kerja sehingga dapat terpelihara adanya ketertiban
untuk mencapai keadilan. Pengaturan,
pembinaan, dan pengawasan yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang
berlaku di bidang ketenagakerjaan itu harus memadai dan sesuai dengan laju
perkembangan pembangunan yang semakin
pesat sehingga dapat mengantisipasi tuntutan perencanaan tenaga kerja,
pembinaan hubungan industrial dan peningkatan perlindungan tenaga kerja.
Tujuan dari hukum ketenagakerjaan
itu sendiri ialah sebagai berikut :
·
Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara
optimal dan manusiawi.
·
Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan
penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan
daerah.
·
Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja.
·
Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan
keluarganya.
Sumber hukum ketenagakerjaan
antara lain :
·
Peraturan perundang-undangan,
·
Kebiasaan,
·
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial,
·
Traktat.
Perjanjian, terdiri atas
perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, dan perjanjian perusahaan.Sifat
hukum ketenagakerjaan sendiri dapat privat maupun publik. Privat dalam arti
bahwa hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan antara orang dengan orang atau
badan hukum, yang dimaksudkan di sini ialah antara pekerja dengan pengusaha.
Namun, hukum ketenagakerjaan juga bersifat publik, yaitu negara campur tangan
dalam hubungan kerja dengan membuat peraturan perundang-undangan yang bersifat
memaksa bertujuan untuk melindungi tenag kerja dengan membatasi kebebasan
berkontrak.
C. PENGEMBANGAN DARI PERMASALAHAN
Pada dasarnya proses
produksi barang dan jasa yang dilakukan para pelaku produksi, yakni pengusaha
dan pekerja tidak dapat terlepas dari keterlibatan negara melalui terbitnya
peraturan hukum yang protektif, berdaya paksa dan sanksi, yakni Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan segala peraturan pelaksananya.
Aturan ini berdiri pada ranah publik dan privat. Hal ini dapat diketahui
dari sifatnya yang protektif, daya paksa dan pemberian sanksi (nestapa),
sedangkan sifat privatnya diketahui dari hubungan hukum kontraktual yang
terdiri para pihak dalam rangka melakukan kegiatan produksi, yang saling
menghormati mengenai hak, kewajiban serta tanggung-jawab masing-masing
dengan berasaskan keseimbangan kepentingan.
Sebagaimana diketahui bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum, dan satu ciri negara hukum adanya
pengakuan terhadap hak asasi manusia. Sebagai negara hukum yang berdasarkan
Pancasila harus mencerminkan adanya jiwa bangsa dan menjiwai, serta mendasari
peraturan hukum yang berlaku dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum dan
tata tertib, yang mengandung konsekuensi juridis bahwa setiap warga masyarakat
dan pejabat negara, di mana segala tindakannya harus berdasarkan hukum.Istilah
negara hukum (rechtsstaat)
dipergunakan Rudolf von Gneist (Jerman 1816 -1895) abad XIX dalam karyanya : “das Englische Verwaltungerechte”
untuk pemerintahan Inggris. Dalam Ensiklopedia Indonesia, istilah negara hukum
dirumuskan sebagai negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban
hukum (tata tertib berdasarkan hukum) serta agar semuanya berjalan menurut
hukum. Istilah negara hukum mempunyai padanan kata pula dengan “The Rule of Law”. Hal ini
dikemukakan Sunaryati Hartono, yaitu : “Oleh sebab itu, agar supaya tercipta
negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan,
pengakuan “The Rule of Law”
itu harus diartikan secara materil”.
Menurut Schelterma sendiri elemen
rechtsstaat, yakni : Pertama,
kepastian hukum (meliputi asas
legalitas, undang-undang yang mengatur tindakan penegak hukum,
undang-undang tidak berlaku surut, hak asasi manusia dijamin undang-undang,
pengendalian yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain). Kedua,
persamaan (tindakan yang berwenang diatur undang-undang dalam arti materiil,
serta pemisahan kekuasaan) ; Ketiga, demokrasi (hak memilih dan
dipilih, peraturan badan yang berwenang ditetapkan parlemen, serta parlemen
mengawasi tindakan pemerintah) ; Keempat, pemerintah untuk rakyat (hak
asasi manusia dijamin Undang-Undang Dasar, dan pemerintah secara efektif dan
efisien). Mukthie Fadjar menyatakan bahwa syarat mutlak dan ciri khas negara
hukum, yakni asas pengakuan serta perlindungan hak asasi manusia, asas legalitas. Dari berbagai
pandangan di atas dapat dipahami bahwa eksistensi Indonesia sebagai negara
hukum teridentifikasi dalam UUD.’45, yang secara eksplisit tercantum dan
tersebar dipelbagai pasal-pasal, yaitu : Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal
24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28, Pasal 28 A, Pasal
28B, Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 F, Pasal 28 G, Pasal 28 H ayat
(1), (2), (3) dan Pasal 28 I ayat (1), (2), (5) dan Pasal 28 J Undang-Undang
Dasar 1945.
Pasal- Pasal tersebut, secara
umum merupakan manifestasi dari suatu ciri negara hukum, adapun secara khusus
sebagai landasan hukum ketenagakerjaan, terutama pada ketentuan Pasal 27 ayat
(2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 28I (2)
UUD’45. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hukum ketenagakerjaan sebagai
norma hukum yang bersifat normatif, dan merupakan landasan hukum dalam hubungan
(kerja) industrial, sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan UUD. 1945,
yang selanjutnya diterbitkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, berdasar ketentuan Pasal 5 (1), jo. Pasal 20 ayat
(2), jo. Pasal 27 ayat (2), jo. Pasal 28, jo. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945, yang berkarakter kepastian hukum, serta keadilan sebagai ciri
negara hukum.
Asas kepastian hukum sebagai ciri
negara hukum diatur pula dalam hukum pidana Pasal 1 (1) KHUP, berbunyi : “Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Asas hukum
(legalitas) dalam arti sempit dikenal dengan adagium : “Nullum Delictum, Nulla
Poena, Sine Praevia Lege Poenale”, sedangkan dalam makna
luas (meliputi hukum acara pidana), Jaksa wajib menuntut semua orang yang
dianggap telah cukup alasan bahwa ia telah melanggar hukum”.Bagaimana dengan
hukum ketenagakerjaan yang mempunyai dua ranah hukum ? yakni hukum bersifat
publik dan privat. Dalam hal ini, seperti yang telah diuraikan sekilas di atas,
bahwa hukum ketenagakerjaan mempunyai sifat protektif, daya paksa dan pemberian
sanksi, sedangkan pada ranah privat ada hubungan hukum yang bersifat
kontraktual dalam rangka melakukan kegiatan produksi berdasarkan asas
keseimbangan kepentingan.
Sebagaimana halnya hukum yang
lain, hukum ketenagakerjaan mempunyai fungsi dan tujuan untuk menjaga
ketertiban masyarakat, khususnya hubungan antara pengusaha dengan pekerja dalam
kegiatan proses produksi barang dan jasa, yang mengandung serta mencerminkan
nilai kepastian hukum, nilai kegunaan (manfaat), dan nilai keadilan. Di sini
ketiga nilai tersebut sebagai pilar-pilar yang melandasi tegaknya hukum
ketenagakerjaan, dan sekaligus sebagai tujuan hukum ketenagakerjaan.Sebagaimana
diketahui bahwa salah satu elemen negara hukum adanya hak asasi manusia sebagai
hak dasar, yang secara alamiah telah melekat pada diri manusia sejak ia lahir
dan tidak dapat dicabut sedemikian rupa, jika dicabut hak tersebut maka
kehadirannya dalam ranah sosial akan hilang eksistensinya sebagai
manusia.
Hal ini sesuai pernyataan
Wolhoff, bahwa sejumlah hak yang seakan-akan berakar dalam tabiat setiap oknum
pribadi manusia justru karena kemanusiaannya yang tidak dapat dicabut oleh
siapapun karena bila dicabut hilang juga kemanusiaannya itu”.Masuknya rumusan
hak asasi manusia dalam UUD 1945, sebagai jaminan adanya penghormatan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, selain itu sebagai salah
satu syarat untuk terpenuhinya unsur negara hukum.
Demikian pula hukum sebagai
sarana untuk mencapai ketertiban, kesejahteraan, dan keadilan dalam mengatur
mengenai hak warga harus dapat menunjukkan jaminan perlindungan hak atas
pekerjaan yang layak, bebas memilih pekerjaan, hak atas syarat-syarat
ketenagakerjaan, hak atas upah yang adil serta syarat-syarat perjanjian kerja
proposional. Hak yang lain, mendirikan serikat pekerja serta tidak boleh untuk menghambat
para pekerja sebagai anggotanya.
Dalam mendukung prinsip hak
asasi, John Rawls, melalui karyanya A
Theory of Justice, menyatakan bahwa : Pertama, prinsip-prinsip
umum keadilan mendasari pelbagai keputusan moral ; Kedua, cita
keadilan terletak pada struktur sosial (masyarakat), seperti : lembaga
sosial, politik, hukum, ekonomi. Struktur masyarakat, meliputi konstitusi,
pemilikan pribadi atas sarana/ prasarana produksi, pasar kompetitif yang
membutuhkan kerja sama semua pihak ; Ketiga, prinsip kebebasan yang sama bagi
semua orang (kebebasan dalam memperjuangkan hak dan/ atau kepentingan hukum),
yang di dalamnya terkandung aspek perbedaan dan persamaan, yakni prinsip
perbedaan sosial serta ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling
besar bagi mereka yang paling kurang beruntung seperti kesejahteraan,
pendapatan dan otoritas, sedang prinsip persamaan, yakni berkeadilan atas
kesempatan. Hal ini bermakna bahwa setiap orang mempunyai hak dan kesempatan
yang sama untuk mendapatkan kebebasan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.
Selaras dengan hal di atas,
Dahlan Thaib mengatakan bahwa ada 15 (limabelas) prinsip hak asasi manusia,
yaitu :
1.
Hak untuk menentukan nasib sendiri,
2.
Hak akan warga Negara,
3.
Hak
akan kesamaan dan persamaan di hadapan hokum,
4.
Hak
untuk bekerja,
5.
Hak
akan hidup layak,
6.
Hak
untuk berserikat,
7.
Hak
untuk menyatakan pendapat,
8.
Hak untuk beragama,
9.
Hak untuk membela Negara,
10. Hak
untuk mendapatkan pengajaran,
11. Hak
akan kebebasan sosial,
12. Hak akan jaminan sosial,
13. Hak
akan kebebasan dan kemandirian peradilan,
14. Hak mempertahankan tradisi budaya,
15. Hak
mempertahankan bahasa daerah.
Dari beberapa prinsip hak asasi
yang dikemukakan Dahlan Thaib tersebut di atas, yang bersentuhan langsung
dengan prinsip hubungan kerja, yakni hak akan kesamaan dan persamaan di hadapan
hukum, hak untuk bekerja, berserikat dan berpendapat, hidup layak dan hak atas
jaminan sosial. Hak dasar inilah yang harus ada dalam setiap hubungan kerja
antara pekerja dengan pengusaha.
Dari uraian tersebut di atas,
dapat dijelaskan bahwa masuknya rumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945
menunjukkan adanya jaminan hukum, dan demokrasi sebagai suatu opsi dalam sistem
pemerintahan dan merupakan manifistasi dari pelaksanaan HAM. Dengan demikian
tegaknya demokrasi harus sinergi dengan rule
of law. Tegaknya supremasi
hukum harus sesuai dengan ide/cita hukum sebagaimana prinsip negara hukum yang
demokratis. Demikian pula dalam menegakkan serta melindungi hak asasi manusia,
pemerintah wajib melaksanakan sesuai ketentuan hukum (undang-undang).
Hukum ketenagakerjaan yang
berperan mengatur kebijakan hubungan kerja, selain pengaturannya melalui
peraturan perundang-undangan terbit pula melalui bentuk peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama, dan perjanjian kerja.Pada dasarnya ketentuan
hukum ini, berlandaskan pada asas kepastian, keadilan, manfaat,
keseimbangan kepentingan, musyawarah-mufakat, serta persamaan kedudukan dalam
hukum. Asas-asas ini mempunyai nilai sebagai cita hukum ketenagakerjaan dalam
memberikan landasan bagi perlindungan dan penegakan hukum bidang
ketenagakerjaan.
Hak dan perlindungan hukum bagi
pekerja yang bersumber dari Undang-Undang No.13Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, antara lain (aspek hukum) :
·
Hak dan perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja,
·
Hak dan perlindungan kesejahteraan (Jamsostek),
·
Hak dan perlindungan kebebasan berserikat,
·
Hak dan perlindungan pemutusan hubungan kerja
terselubung atau sepihak,
·
Hak dan perlindungan pengupahan,
·
Hak dan perlindungan waktu kerja (meliputi :
kerja lembur),
·
Hak dan perlindungan kepentingan ibadah,
melahirkan, haid, cuti tahunan, istirahat antara jam kerja, istirahat mingguan,
dan lain perlindungan yang bersifat normatif.
Perlindungan hukum yang bersumber
dari peraturan perusahaan/ perjanjian kerja dan perjanjian kerja bersama
(syarat-syarat kerja yang belum diatur atau peningkatan kualitas atas standar
minimum peraturan perundang-undangan), antara lain :
·
Fasilitas kesejahteraan (koperasi, klinik,
perumahan, dan keluarga berencana), kantin, rekreasi, olah raga, tempat
beribadah dan penitipan anak),
·
Gaji berkala dan tunjangan tetap,Bonus akhir
tahun dan bonus berdasarkan prestasi,perlindungan yang ditetapkan berdasarkan
perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan, perjanjian kerja.
Penggunaan sarana hukum yang bersifat
otonom ini cenderung lebih mengadopsi (walapun tidak secara keseluruhan), atau
penyesuaian diri yang bersifat tambal sulam dari Undang-Undang No. 13 Tahun
2003. Perlindungan hukum bagi pihak pengusaha yang bersumber dari Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003, antara lain (aspek hukum) :
·
Upah tidak dibayar, jika pekerja tidak bekerja
bukan atas kehendak pengusaha atau perusahaan (no pay, no work),
·
Hak mutasi terhadap pekerja untuk kepentingan
perusahaan,
·
Hak mengatur, dan perintah untuk melakukan pekerjaan,
·
Hak sanksi bagi pekerja yang terbukti melakukan
pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama,
·
Pemutusan hubungan kerja bagi pekerja yang
melakukan pelanggaran hukum,
·
Pemutusan hubungan kerja dalam masa percobaan,
·
Perlindungan yang bersifat normatif.
Ketentuan hukum yang memberi
perlindungan bagi pengusaha dimanfaatkan oleh yang bersangkutan untuk
kepentingan usahanya, sedangkan aturan hukum yang memberi perlindungan kepada
pihak pekerja kurang dipatuhi pengusaha. Hal ini karena posisi tawar pekerja
kurang dapat mengimbangi “kekuatan” pengusaha. Dalam hal ini peran pemerintah
selaku pengawas bidang ketenagakerjaan diharapkan berfungsi sebagai social control dan
melaksanakan pengawasan/ penindakan terhadap pelanggaran hukum ketenagakerjaan.
Dengan demikian hukum
ketenagakerjaan telah memenuhi persyaratan formil dan materiil sebagai hukum
yang memberikan pengayoman, kepastian hukum (asas legalitas), serta sebagai
salah satu pilar dalam suatu negara hukum yang menjunjung tinggi tegaknya
supremasi hukum (the rule of law). Keberadaan
hukum ketenagakerjaan medasarkan pada asas keseimbangan yang bernilai keadilan
dan kemanfaatan, di mana kepentingan pekerja mendapat proteksi melalui peran
pemerintah dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan penindakan terhadap
perbuatan dan pelaku yang melakukan pelanggaran hukum dibidang ketenagakerjaan.
Dari aspek perdata, dapat memanfaatkan sarana Pengadilan Hubungan Industrial,
yang diawali penggunaan sarana bipartit, mediasi, atau konsiliasi, atau
arbitrase, dan selanjutnya tahap proses pemeriksaan melalui Pengadilan Hubungan
Industril dalam upaya menggapai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
D. PELAKSANAAN HUBUNGAN KERJA DI INDONESIA
Pasal 1 angka 15 UU no.13 th. 2003 disebutkan bahwa :
1. Hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan
perjanjian kerja yang mempunyai unsure-unsur pekerjaan , upah dan perintah,
2. Hubungan
kerja adalah suatu hubungan pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian
kerja yang diadakan untuk waktu tertentu namun waktu yangtidak tertentu.
Ø
Perjanjian Kerja
Pasal
1313 KUH Perdata yang berbunyi “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
lainnya.”
·
Pengertian luas dan lemah
1. Sudikno
Mertokusumo , “ perjanjian adalah subjek hokum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum .”
2. Definisi
pejanjian klasik , “ perjanjian adalah perbuatan hokum bukan hubungan hokum
(sesuai dengan pasal 1313 perjanjian adalah perbuatan).”
1.
pengertian perjanjian kerja
Dalam
KUHPerdata , pasal 1601 titel VII A buku III tentang perjanjian untuk melakuakn
pekerjaan yang menyatakan bahwa, “selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan
sementara jasa-jasa yang diatur oleh ketentuan yang khusus untuk itu dan untuk
syarat-syarat yang di perjanjikan dan jika itu tidak ada , oleh karena
kebiasaan , maka ada dua macam perjanjian dengan mana pihak yang lain dengan
menerima upah, perjanjian perburuhan dan pemborong pekerjaan.”
2.
unsur-unsur dalam perjanjian kerja
KUH
Perdata pasal 1320 (menurut pasal 1338 (1) ) menyatakan sahnya perjanjian mereka sepakat untuk mengakibatkan diri
yaitu:
·
Cakap untuk membuat suatu perikatan,
·
Suatu hal
tertentu,
·
Suatu
sebab yang halal,
M.G
Rood (pakar hokum perburuhan dari belanda ), ada 4 unsur syarat perjanjian
kerja antara lain :
1. Adanya
unsure work (pekerjaan),
2. Adanya
unsure service (pelayanan),
3. Adanya
unsure time (waktu ),
4. Adanya
unsure pay (upah ).
3.
Bentuk Perjanjian Kerja
Dalam
praktik di kenal 2 bentuk perjanjian yaitu :
·
Tertulis, di peruntuk perjanjian-perjanjian yang
sifatnya tertentu atau adanya kesepakatan para pihak, bahwa perjanjian yang
dibuatnya itu menginginkan dibuat secara tertulis, agar adanya kepastian hokum.
·
Tidak tertulis, bahwa perjnjian yang oleh
undang-undahng tidak disyaratkan dalam bentuk tertulis.
4.
Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dlam Perjanjian Kerja
Subjek
dari perjanjian kerja adalah orang-orang yang terikat oleh perjanjian yang di
buatnya Hak dan kewajiban subjek kerja,
dimana hak merupakan suatu tuntutan &
keinginan yang di peroleh oleh subjek kerja ( pengusaha dan pekerja).
sedangkan kewajiban adalah para pihak, disebut prestasi.
5.
Berakhirnya Perjanjian Kerja
Alasan
berakhirnya perjanjian kerja adalah :
·
Pekerja meninggal dunia,
·
Berakhir karena jangka waktu dalam perjanjian,
·
Adanya
putusan pengadilan dan atau putusan atau penetapan lembaga penyelsaian
perselisihan hubungan industrial,
·
Adanya keadaan atau kejadian yang di cantumkan
dalam perjanjian kerja,
·
Pemutusan hubungan kerja
Istilah
dan pengertian hubungan kerja yaitu :
1. Deter
mination , putusan hubungan kerja karena selesai atau berakhirnya kontrak
kerja,
2. Dissmisal, putusan hubungan kerja karena
tindakan indisiplinerm
3. Redudancy,
pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan perkembangan tekhnologi,
4. Retrechtment,
pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan masalah ekonomi,
5. F.X.
Djumialdji, Pemutusan hubungan kerja adalah suatu langkah pengakhiran hubungan
kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu.
Pasal
1 angka 25 UU no.13 thn. 2003, PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena
sesuatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
perkara (buruh dan pengusaha).
Ø Macam-macam
pemutusan kerja
·
Pemutusan hubungan kerja demi hukum
hubungan
kerja antara pengusaha dan pekerja berhenti dengan sendirinya yang mana kedua
belah pihak hanya pasif saja , tanpa suatu tindakan atau perbuatan salah satu
pihak. Pemutusan hubungan kerja ini terjadi pada saat :
1. Perjanjian
kerja pada waktu tertentu, (pasal 1.1 Kep. Men tenaga kerja & transmigrasi
no: Kep.100/ Men/ V/ 2004 tentang keterangan pelaksanaan perjanjian kerja ,
waktu tertentu,
2. Pekerja
meninggal dunia, pasal 61 ayat 1 huruf a UU no.13 thn. 2003 ditegaskan bahwa
perjanjian kerja berakhir apabila pekerja meninggal dunia namun hak-hak nya
bisa di berikan pada ahli waris (61.a(5).
·
Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja dapat
terjadi karena :
1. Masa
percobaan,
2. Meninggalnya
pengusaha,
3. Perjanjian
kerja untuk waktu tidak tentu,
4. Pekerja
dapat memutuskan hubungan kerja sewaktu-waktu.
·
Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha yaitu dengan
membayarkan uang pesangon, sebagai upah akhir.
·
Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
Keputusan
yang di tetapkan oleh pengadilan tentang pemutusan hubungan kerja dalam
pengadilan perdata yang biasa berdasarkan surat permohonan oleh pihak yang
bersangkutan.karena alas an – alas an penting.
Penyelesaian
hubungan kerja dibedakan atas 2 bagian yaitu :
1. Menurut
sifatnya yaitu :
·
Perselisihan kolektif,
·
Perselisihan perseorangan
2. Menurut
jenisnya yaitu :
·
Peselisihan jenisnya,
·
Perselisihan kepentingan
Sistem
pengupahan di pandang dari sudut nilainya upah dibedakan antara lain :
a. Upah
nominal adalah jumlah yang berupa uang.
b. Upah
riil adalah banyaknya barang yang dapat dibeli oleh jumlah uang itu.
Menurut
cara menetapkan upah dibagi kedalam system-sistem pengupahan , sebagai berikut
:
a. Sistem
upah jangka waktu,
b. Upah
yang ditetapkan menurut jangka waktu pekerja,
c. Sistem
upah potongan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu :
·
Menurut
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan
ketenagakerjaan itu sendiri adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
·
Hukum
ketenagakerjaan menurut Imam Soepomo diartikan sebagai himpunan peraturan baik
tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang
bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
· Tujuan hukum ketenagakerjaan, yakni menjaga
ketertiban jalinan hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha. Dalam rangka
menjaga ketertiban, perlu pedoman berperilaku yang berbentuk hukum normatif
(kepastian hukum), dan diarahkan pada cita hukum, yaitu keadilan maupun
kemanfaatan. Ketiga nilai tersebut melandasi tegaknya hukum ketenagakerjaan,
disamping itu Indonesia sebagai negara hukum memberlakukan kasta yang sama
dihadapan hukum (Equality
before of the Law).
·
Hukum
ketenagakerjaan dalam konstitusi hukum (Indonesia) merupakan implementasi dari
falsafah dasar, yakni Pancasila dan teori dasar (UUD. 1945). Nilai dasar
tersebut mempunyai aspek kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan. Kepastian ini
sekaligus mencerminkan nilai keadilan, yang memberi kemanfaatan bagi
kelangsungan hidup pekerja dan pengusaha dalam koridor perusahaan.
B. SARAN
Sebaiknya apabila melakukan suatu
perjanjian kerja haruslah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian dalam
KUHPerdata, karena itu merupakan pokok utama dalam suatu perjanjian, selain syarat
sahnya suatu perjanjian kerja yang wajib dipenuhi unsur kerja juga harus
dipenuhi supaya perjanjian kerja itu berjalan sesuai undang-undang yang
mengatur.
DAFTAR PUSTAKA
·
Djoko Heroe S. 2006. Eksistensi Hukum
Ketenagakerjaan Dalam Menciptakan Hubungan Kemitraan Antara Pekerja Dengan
Pengusaha, Disertasi, Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
·
Koko Kosidin. 1996. Aspek-Aspek Hukum Dalam
Pemutusan Hubungan Kerja Di Lingkungan Perusahaan Perseroan, Disertasi,
Fakultas Hukum Univ. Pajajaran, Bandung.
·
Marzuki Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum,
Prenada Media, Jakarta.
·
Rahardjo S. 2000. Ilmu Hukum, Citra Aditya
Bakti, Yogyakarta.
·
Sri Soemantri. 1977. Tentang Lembaga-Lembaga
Negara Menurut UUD 1945, Alumni, Bandung.
·
Hutagalung TH. 1995. Hukum dan Keadilan dalam
Pemikiran Filsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung.