Minggu, 14 April 2013

makalah ketenagakerjaan


MAKALAH

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

“HUKUM KETENAGAKERJAAN”

 








OLEH
NURHAK
2010010154
MANAJEMEN D

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
MUHAMMADIYAH MAMUJU
2012/2013

KATA PENGANTAR


Puji syukur  penulis panjatkan  kepada Tuhan Yang Maha Esa yang  telah  memberikan  rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Makalah ini merupakan salah satu tugas dari Mata Kuliah Aspek hukum Dalam Ekonomi, dengan selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan kepada penulis. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.    Ibu Irdha  (selaku Dosen Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Ekonomi).
2.    Rekan-rekan mahasiswa.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan makalah ini, baik dari materi maupun  tehnik penyajiannya, mengingat kekurangannya  pengetahuan dan  pengalaman  penulis. Oleh  karena itu,  kritik dan saran yang membangun sangat  penulis  harapkan.


Mamuju, 15 Desember 2012


     Penulis






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR………………………….……………………………………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………1
A.     LATAR BELAKANG MASALAH…………………………………………1
B.     MAKSUD DAN TUJUAN…………………………………………………4
C.     PERMASALAHAN………………………………………………………...5
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………….6
A.     SEJARAH HUKUM KETENAGAKERJAAN……………………………6
B.     PENGERTIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN ……………………...7
C.     PENGEMBANGAN DARI PERMASALAHAN…………………………9
D.     PELAKSANAAN HUBUNGAN KERJA DI INDONESIA……………..15
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………..20
A.     KESIMPULAN…………………………………………………………...20
B.     SARAN…………………………………………………………………...20
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………iii


 






BAB I

 PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG   MASALAH

Pemerintah selaku pembina, pengawas, dan penindakan hukum melaksanakan aturan hukum dengan hati-hati mengingat posisi pengusaha dan pekerja merupakan aset potensial bagi negara, sekaligus subyek pembangunan nasional yang berkedudukan sama dihadapan hukum. Aturan hukum sebagai pedoman tingkah laku wajib dipatuhi para pihak dan dengan penuh rasa tanggung-jawab. Kepatuhan bukan merupakan paksaan, melainkan budaya taat terhadap ketentuan hukum.
Pada dasarnya hukum ketenagakerjaan mempunyai sifat melindungi dan menciptakan rasa aman, tentram, dan sejahtera dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hukum ketenagakerjaan dalam memberi perlindungan harus berdasarkan pada dua aspek, Pertama, hukum dalam perspektif ideal diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan (heterotom) dan hukum yang bersifat otonom. Ranah hukum ini harus dapat mencerminkan produk hukum yang sesuai  cita-cita keadilan dan kebenaran, berkepastian, dan mempunyai nilai manfaat bagi para pihak dalam  proses produksi.
Hukum ketenagakerjaan tidak semata mementingkan pelaku usaha, melainkan memperhatikan dan memberi perlindungan kepada  pekerja yang secara sosial mempunyai kedudukan sangat lemah, jika dibandingkan dengan posisi pengusaha yang cukup mapan. Hukum memberi manfaat terhadap prinsip perbedaan sosial serta tingkat ekonomi bagi pekerja yang kurang beruntung, antara lain seperti tingkat kesejahteraan, standar pengupahan serta syarat kerja, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan selaras dengan makna keadilan menurut ketentuan Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Demikian pula ketentuan Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” ; Kedua, hukum normatif pada tingkat implementasi memberikan kontribusi dalam bentuk pengawasan melalui aparat penegak hukum dan melaksanakan penindakan terhadap pihak-pihak yang tidak mematuhi ketentuan hukum.
Hukum dasar memberikan kedudukan kepada seseorang pada derajat yang sama satu terhadap lainnya. Hal ini berlaku pula bagi pekerja yang bekerja pada pengusaha, baik lingkungan swasta (murni), badan usaha milik negara maupun karyawan negara dan sektor lainnya. Hal ini tersurat dalam ketentuan Pasal 28I UUD 1945, yakni : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun…”, bahkan Pasal 28I ini memberikan perlindungan bagi mereka, meluputi pula pekerja atas perlakuan diskriminatif. Pernyataan ini menegaskan adanya kewajiban bagi pengusaha untuk memperlakukan para pekerja secara adil dan proporsional sesuai asas keseimbangan kepentingan. Dalam posisi ini pekerja sebagai mitra usaha, bukan merupakan ancaman bagi keberadaan perusahaan.Hukum sebagai pedoman berperilaku harus mencerminkan aspek  keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, serta negara. Di samping mendorong terciptanya ketertiban, kepastian hukum, kesamaan kedudukan dalam hukum dan keadilan.
Hukum ketenagakerjaan (Undang-Undang No. 13 Tahun 2003) ditetapkan sebagai payung hukum bidang hubungan industrial dan direkayasa untuk menjaga ketertiban, serta sebagai kontrol sosial, utamanya memberikan landasan hak bagi pelaku produksi (barang dan jasa), selain sebagai payung hukum hukum ketenagakerjaan diproyeksikan untuk alat dalam membangun kemitraan. Hal ini tersurat dalam ketentuan Pasal 102 (2) dan (3) UU. No. 13 Tahun 2003). Ketentuan ini terlihat sebagai aturan hukum yang harus dipatuhi para pihak (tanpa ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan makna kemitraan). Sekilas dalam ketentuan Pasal 102 (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, menyatakan  bahwa : “…pengusaha mempunyai fungsi menciptakan kemitraan…” Hal ini belum memberi kejelasan yang konkrit bagi masyarakat industrial yang umumnya awam dalam memahami ketentuan hukum. Ironinya hukum hanya dilihat sebagai abstraktif semata.
Demikian pula terhadap Pasal 102 ayat 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 bahwa pada intinya pekerja dalam melaksanakan hubungan industrial berkewajiban untuk menjalankan pekerjaan demi kelangsungan produksi, memajukan perusahaan, dan sisi lain menerima hak sebagai apresiasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya, selain menjalankan fungsi lainnya, melalui serikat pekerja untuk memperjuangkan kesejahteraan anggota serta keluarganya dengan tetap menjaga ketertiban dan kelangsungan produksi barang dan/atau jasa dan berupaya mengembangkan keterampilan serta memajukan perusahaan.Secara tersirat hal ini merupakan bentuk partisipasi pekerja dalam keikutsertanya menjaga ketertiban, memajukan perusahaan, serta memperhatikan kesejahteraan, namun redaksi ini kurang dapat dipahami para pihak, bahkan pemaknaan demikian kurang adanya keperdulian, khususnya dari pihak pengusaha, sehingga hal ini sering memicu perselisihan hak dan kepentingan yang berujung pada aksi unjuk rasa serta mogok kerja.
Jika makna ini dipahami sebagai kemitraan, maka akan menjauhkan dari pelbagai kepentingan pribadi.Berbeda, jika masyarakat industrial memahami sebagai aturan hukum yang harus dipatuhi tanpa harus mendapatkan teguran dari pemerintah sesuai ketentuan Pasal 102 (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003, dan memahami sebagai landasan dalam membangun hubungan kemitraan, hanya saja ketidak patuhan dalam membangun kemitraan tidak ada sanksi hukum yang mengikat bagi para pihak. Hal ini sebagai kendala dalam menciptakan hubungan kemitraan.
Sekilas telah disebutkan dasar filosofis mengenai ketentuan Pasal 102 (2) dan  (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, bahwa penanaman asas keseimbangan kepentingan   dalam aturan hukum yang mengandung nilai kejujuran, kepatutan, keadilan, serta tuntutan moral, seperti hak, kewajiban dan tanggung jawab) dalam hubungan antara manusia sesuai dengan sila-sila Pancasila, di mana pekerja dan pengusaha mempunyai hubungan timbal balik yang bernilai kemanusiaan, tidak ada diskriminasi, serta mencari penyesuaian paham melalui musyawarah-mufakat dalam membangun kemitraan dalam hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, dan melalui bangunan kemitraan para pihak menjaga kondisi kerja secara kondusif, dengan tetap memperhatikan kesejahteraan para pekerja maupun  keluarganya, sebaliknya para pekerja melaksanakan kewajiban sesuai aturan yang berlaku dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja.
Hal ini pada gilirannya akan tercipta  suatu bangunan kemitraan. Keserasian ini merupakan manifestasi, bahwa pengusaha dan pekerja harus menerima serta percaya segala apa yang dimiliki merupakan amanah Allah untuk dapat dimanfaatkan bagi kepentingan manusia. Perekat pada ranah kenegaraan dan sekaligus sebagai landasan filosofis hubungan sosial, yakni hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, yaitu Pancasila.
Pancasila merupakan ajaran yang mengandung nilai fundamental dalam hubungan sesama manusia dan mencerminkan asas normatif sebagai dasar perekat hubungan kerja, khususnya antara pengusaha dengan pekerja, alam, negara, dan Tuhannya. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila akan tercipta hubungan harmonis, sejahtera, terjalin keseimbangan hak dan kewajiban, khususnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja karena itulah perlu ditanamkan nilai kejujuran, transparansi, asas keseimbangan yang berkeadilan serta rasa kekeluargaan dan kegotong-royongan yang berkelanjutan sehingga nilai-nilai tersebut, akan hidup dan berkembang secara lestari.

B.    PERMASALAHAN

Dari  pembahasan  diatas dapat disimpulkan rumusan masalah antara lain yaitu :
·         Bagaimana hukum ketenagakerjaan dalam pelaksanaan hubungan kerja di Indonesia? 

C.   MAKSUD DAN TUJUAN

Adapun salah satu tujuan dari Hukum ketenagakerjaan ini adalah untuk mengantarkan dan memperluas pandangan mahasiswa/(i) tentang sejarah hukum ketenagakerjaan dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk dapat menambah pengetahuan tentang perjanjian kerja dan pelaksanaan hubungan kerja di Indonesia.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka Penulis tertarik untuk membuat suatu karya tulis ilmiah dalam bentuk makalah yang berjudul: “HUKUM KETENAGAKERJAAN.”















BAB II

PEMBAHASAN


A.    SEJARAH  HUKUM KETENAGAKERJAAN

Asal mula adanya Hukum Ketanagakerjaan di Indonesia terdiri dari beberapa fase jika kita lihat pada abad 120 sebelum M. Ketika bangsa Indonesia ini mulai sudah dikenal adanya sistem gotong-royong, antara anggota masyarakat. Dimana gotong-royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga yang dimaksudkan untuk mengisi kekurangan tenaga, pada masa sibuk dengan tidak mengenal suatu balas jasa dalam bentuk materi. Sifat gotong-royong ini memiliki nilai luhur dan diyakini membawa kemaslahatan karena berintikan kebaikan, kebijakan, dan hikmah bagi semua orang gotong-royong ini nantinya menjadi sumber terbentuknya hukum ketanagakerjaan adat. Dimana walaupun peraturannya tidak secara tertulis , namun hukum ketenagakerjaan adat ini merupakan identitas bangsa yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia dan merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa Indonesia dari abad keabad.
Setelah memasuki abad Masehi, ketika sudah mulai berdiri suatu kerajaan di Indonesia hubungan kerja berdasarkan perbudakan, seperi saat jaman kerajaan hindia belanda pada zaman ini terdapat suatu system pengkastaan , seperti : brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan paria. Dimana kasta sudra merupakan kasta paling rendah golongan sudra dan paria ini menjadi budak dari kasta brahmana, ksatria, dan waisya mereka hanya menjalankan kewajiban sedangkan hak-haknya dikuasai oleh para majikan. Sama halnya dengan islam walaupun tidak secara tegas adanya sistem pengangkatan namun sebenarnya sama saja . Pada masa ini kaum bangsawan (Raden) memiliki hak penuh atas para tukangnya. Nilai-nilai keislaman tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena terhalang oleh dinding budaya bangsa yang sudah berlaku 6 abad sebelumnya.
Pada saat masa pendudukan hindia belanda di Indonesia kasus perbudakan semakin meningkat perlakuan terhadap budak sangat keji dan tidak berperikemanusiaan. Satu-satunya penyelsaiannya adalah mendudukan para budak pada kedudukan manusia merdeka. Baik sosiologis maupun yuridis dan ekonomis. Tindakan belanda dalam mengatasi kasus perbudakan ini dengan mengeluarkan staatblad 1817 no. 42 yang berisikan larangan untuk memasukan budak-budak ke pulau jawa. Kemudian tahun 1818 di tetapkan pada suatu UUD HB (regeling reglement) 1818 berdasarkan pasal 115 RR menetapkan bahwa paling lambat pada tanggal 01-06-1960 perbudakan dihapuskan.
Selain kasus hindia belanda mengenai perbudakan yang keji dikenal juga istilah Rodi yang pada dasarnya sama saja. Rodi adalah kerja paksa mula-mula merupakan gotong-royong oleh semua penduduk suatu desa-desa suku tertentu. Namun hal tersebut di manfaatkan oleh penjajah menjadi suatu kerja paksa untuk kepentingan pemerintah hindia belanda dan pembesar-pembesarnya.

B.    PENGERTIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

Indonesia ialah negara hukum, hal ini tentunya kita telah mengetahuinya karena dalam Undang-Undang Dasar Negra Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3) telah menyatakan demikian. Sebagai negara hukum segala aspek kehidupan bangsa Indonesia diatur oleh hukum termasuk dalam hubungan industrial yang menyangkut tenaga kerja. Pengaturan ini demi terpenuhinya hak para tenaga kerja agar tidak terjadi eksploitasi dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia tenaga kerja.

·         Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan ketenagakerjaan itu sendiri adalah segala hal yangberhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
·         Hukum ketenagakerjaan menurut Imam Soepomo diartikan sebagai himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
Pengertian itu identik dengan pengertian hukum perburuhan. Ruang lingkup hukum ketegakerjaan saya lebih luas dari pada hukum perburuhan. Hukum ketenagakerjaan dalam arti luas tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan pengusaha, tetapi juga pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri. Di Indonesia pengaturan tentang ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Disebutkan dalam undang-undang itu bahwa hukum ketenagakerjaan ialah himpunan peraturanmengenai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Fungsi Hukum Ketenagakerjaan Menurut Profesor Mochtar kusumaatmadja, fungsi hukum itu adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Dalam rangka pembangunan, yang dimaksud dengan sarana pembaharuan itu adalah sebagai penyalur arah kegiatan manusia kearah yang diharapkan oleh pembangunan.
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan  pembangunan nasional diarahkan untuk mengatur, membina dan mengawasi segala kegiatan yang berhubungan  dengan tenaga kerja sehingga dapat terpelihara adanya  ketertiban untuk mencapai keadilan.  Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan itu harus memadai dan sesuai dengan laju perkembangan  pembangunan yang semakin pesat sehingga dapat mengantisipasi tuntutan perencanaan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial dan peningkatan perlindungan tenaga kerja.
Tujuan dari hukum ketenagakerjaan itu sendiri ialah sebagai berikut :
·         Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
·         Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
·         Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja.
·         Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Sumber hukum ketenagakerjaan antara lain :
·         Peraturan perundang-undangan,
·         Kebiasaan,
·         Putusan Pengadilan Hubungan Industrial,
·         Traktat.
Perjanjian, terdiri atas perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, dan perjanjian perusahaan.Sifat hukum ketenagakerjaan sendiri dapat privat maupun publik. Privat dalam arti bahwa hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan antara orang dengan orang atau badan hukum, yang dimaksudkan di sini ialah antara pekerja dengan pengusaha. Namun, hukum ketenagakerjaan juga bersifat publik, yaitu negara campur tangan dalam hubungan kerja dengan membuat peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa bertujuan untuk melindungi tenag kerja dengan membatasi kebebasan berkontrak.

C.   PENGEMBANGAN  DARI  PERMASALAHAN

Sebagaimana diketahui bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, dan satu ciri negara hukum adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia. Sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila harus mencerminkan adanya jiwa bangsa dan menjiwai, serta mendasari peraturan hukum yang berlaku dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum dan tata tertib, yang mengandung konsekuensi juridis bahwa setiap warga masyarakat dan pejabat negara, di mana segala tindakannya harus berdasarkan hukum.Istilah negara hukum (rechtsstaat) dipergunakan Rudolf von Gneist (Jerman 1816 -1895) abad XIX dalam karyanya : “das Englische Verwaltungerechte” untuk pemerintahan Inggris. Dalam Ensiklopedia Indonesia, istilah negara hukum dirumuskan sebagai negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum (tata tertib berdasarkan hukum) serta agar semuanya berjalan menurut hukum. Istilah negara hukum mempunyai padanan kata pula dengan “The Rule of Law”. Hal ini dikemukakan Sunaryati Hartono, yaitu : “Oleh sebab itu, agar supaya tercipta negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, pengakuan “The Rule of Law” itu harus diartikan secara  materil”.
Menurut Schelterma sendiri elemen rechtsstaat, yakni : Pertama, kepastian hukum (meliputi asas legalitas, undang-undang yang mengatur tindakan penegak hukum, undang-undang tidak berlaku surut, hak asasi manusia dijamin undang-undang, pengendalian yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain). Kedua, persamaan (tindakan yang berwenang diatur undang-undang dalam arti materiil, serta pemisahan kekuasaan) ; Ketiga, demokrasi (hak  memilih dan dipilih, peraturan badan yang berwenang ditetapkan parlemen, serta parlemen mengawasi tindakan pemerintah) ; Keempat, pemerintah untuk rakyat (hak asasi manusia dijamin Undang-Undang Dasar, dan pemerintah secara efektif dan efisien). Mukthie Fadjar menyatakan bahwa syarat mutlak dan ciri khas negara hukum, yakni asas pengakuan serta perlindungan hak asasi manusia, asas legalitas. Dari berbagai pandangan di atas dapat dipahami bahwa eksistensi Indonesia sebagai negara hukum teridentifikasi dalam UUD.’45, yang secara eksplisit tercantum dan tersebar dipelbagai pasal-pasal, yaitu : Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 24 ayat (1),  Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28, Pasal 28 A, Pasal 28B, Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 F, Pasal 28 G, Pasal 28 H ayat (1), (2), (3) dan Pasal 28 I ayat (1), (2), (5) dan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal- Pasal tersebut, secara umum merupakan manifestasi dari suatu ciri negara hukum, adapun secara khusus sebagai landasan hukum ketenagakerjaan, terutama pada ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 28I (2) UUD’45. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hukum ketenagakerjaan sebagai norma hukum yang bersifat normatif, dan merupakan landasan hukum dalam hubungan (kerja) industrial,  sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan UUD. 1945, yang selanjutnya diterbitkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, berdasar ketentuan Pasal 5   (1), jo. Pasal 20 ayat (2), jo. Pasal 27 ayat (2), jo. Pasal 28, jo. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang berkarakter kepastian hukum, serta keadilan sebagai ciri negara hukum.
Asas kepastian hukum sebagai ciri negara hukum diatur pula dalam hukum pidana Pasal 1 (1) KHUP, berbunyi : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Asas hukum (legalitas) dalam arti sempit dikenal dengan adagium : “Nullum Delictum, Nulla  Poena, Sine Praevia Lege Poenale”, sedangkan dalam makna luas (meliputi hukum acara pidana), Jaksa wajib menuntut semua orang yang dianggap telah cukup alasan bahwa ia telah melanggar hukum”.Bagaimana dengan hukum ketenagakerjaan yang mempunyai dua ranah hukum ? yakni hukum bersifat publik dan privat. Dalam hal ini, seperti yang telah diuraikan sekilas di atas, bahwa hukum ketenagakerjaan mempunyai sifat protektif, daya paksa dan pemberian sanksi, sedangkan pada ranah privat ada hubungan hukum yang bersifat kontraktual dalam rangka melakukan kegiatan produksi berdasarkan asas keseimbangan kepentingan.
Sebagaimana halnya hukum yang lain, hukum ketenagakerjaan mempunyai fungsi dan tujuan untuk menjaga ketertiban masyarakat, khususnya hubungan antara pengusaha dengan pekerja dalam kegiatan proses produksi barang dan jasa, yang mengandung serta mencerminkan nilai kepastian hukum, nilai kegunaan (manfaat), dan nilai keadilan. Di sini ketiga nilai tersebut sebagai pilar-pilar yang melandasi tegaknya hukum ketenagakerjaan, dan sekaligus sebagai tujuan hukum ketenagakerjaan.Sebagaimana diketahui bahwa salah satu elemen negara hukum adanya hak asasi manusia sebagai hak dasar, yang secara alamiah telah melekat pada diri manusia sejak ia lahir dan tidak dapat dicabut sedemikian rupa, jika dicabut hak tersebut maka kehadirannya  dalam ranah sosial akan hilang eksistensinya sebagai manusia.
Hal ini sesuai pernyataan  Wolhoff, bahwa sejumlah hak yang seakan-akan berakar dalam tabiat setiap oknum pribadi manusia justru karena kemanusiaannya yang tidak dapat dicabut oleh siapapun karena bila dicabut hilang juga kemanusiaannya itu”.Masuknya rumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945, sebagai jaminan adanya penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, selain itu sebagai salah satu syarat untuk terpenuhinya unsur negara hukum.
Demikian pula hukum sebagai sarana untuk mencapai ketertiban, kesejahteraan, dan keadilan dalam mengatur mengenai hak warga harus dapat menunjukkan jaminan perlindungan hak atas pekerjaan yang layak, bebas memilih pekerjaan, hak atas syarat-syarat ketenagakerjaan, hak atas upah yang adil serta syarat-syarat perjanjian kerja proposional. Hak yang lain, mendirikan serikat pekerja serta tidak boleh untuk menghambat para pekerja sebagai anggotanya.
Dalam mendukung prinsip hak asasi, John Rawls, melalui karyanya A Theory of Justice, menyatakan bahwa : Pertama, prinsip-prinsip umum keadilan mendasari pelbagai  keputusan moral ; Kedua, cita keadilan terletak pada struktur sosial (masyarakat), seperti :  lembaga sosial, politik, hukum, ekonomi. Struktur masyarakat, meliputi konstitusi, pemilikan pribadi atas sarana/ prasarana produksi, pasar kompetitif yang membutuhkan kerja sama semua pihak ; Ketiga, prinsip kebebasan yang sama bagi semua orang (kebebasan dalam memperjuangkan hak dan/ atau kepentingan hukum), yang di dalamnya terkandung aspek perbedaan dan persamaan, yakni prinsip perbedaan sosial serta ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung seperti kesejahteraan, pendapatan dan otoritas, sedang prinsip persamaan, yakni berkeadilan atas kesempatan. Hal ini bermakna bahwa setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan kebebasan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.
Selaras dengan hal di atas, Dahlan Thaib mengatakan bahwa ada 15 (limabelas) prinsip hak asasi manusia, yaitu :
1.    Hak untuk menentukan nasib sendiri,
2.    Hak akan warga Negara,
3.    Hak akan kesamaan dan persamaan di hadapan hokum,
4.    Hak untuk bekerja,
5.    Hak akan hidup layak,
6.    Hak untuk berserikat,
7.    Hak untuk menyatakan pendapat,
8.    Hak untuk beragama,
9.    Hak untuk membela Negara,
10.  Hak untuk mendapatkan pengajaran,
11.  Hak akan kebebasan sosial,
12.  Hak akan jaminan sosial,
13.  Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan,
14.   Hak mempertahankan tradisi budaya,
15.  Hak mempertahankan bahasa daerah.
Dari beberapa prinsip hak asasi yang dikemukakan Dahlan Thaib tersebut di atas, yang bersentuhan langsung dengan prinsip hubungan kerja, yakni hak akan kesamaan dan persamaan di hadapan hukum, hak untuk bekerja, berserikat dan berpendapat, hidup layak dan hak atas jaminan sosial. Hak dasar inilah yang harus ada dalam setiap hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha.
Dari uraian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa masuknya rumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945 menunjukkan adanya jaminan hukum, dan demokrasi sebagai suatu opsi dalam sistem pemerintahan dan merupakan manifistasi dari pelaksanaan HAM. Dengan demikian tegaknya demokrasi harus sinergi dengan rule of law. Tegaknya supremasi hukum harus sesuai dengan ide/cita hukum sebagaimana prinsip negara hukum yang demokratis. Demikian pula dalam menegakkan serta melindungi hak asasi manusia, pemerintah wajib melaksanakan sesuai ketentuan hukum (undang-undang).
Hukum ketenagakerjaan yang berperan mengatur kebijakan hubungan kerja, selain pengaturannya melalui peraturan perundang-undangan terbit pula melalui bentuk peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, dan perjanjian kerja.Pada dasarnya ketentuan hukum ini, berlandaskan pada asas kepastian, keadilan,  manfaat, keseimbangan kepentingan, musyawarah-mufakat, serta persamaan kedudukan dalam hukum. Asas-asas ini mempunyai nilai sebagai cita hukum ketenagakerjaan dalam memberikan landasan bagi perlindungan dan penegakan hukum bidang ketenagakerjaan.
Hak dan perlindungan hukum bagi pekerja yang bersumber dari Undang-Undang No.13Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, antara lain (aspek hukum) :
·         Hak dan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja,
·         Hak dan perlindungan kesejahteraan (Jamsostek),
·         Hak dan perlindungan kebebasan berserikat,
·         Hak dan perlindungan pemutusan hubungan kerja terselubung atau sepihak,
·         Hak dan perlindungan pengupahan,
·         Hak dan perlindungan waktu kerja (meliputi : kerja lembur),
·         Hak dan perlindungan kepentingan ibadah, melahirkan, haid, cuti tahunan, istirahat antara jam kerja, istirahat mingguan, dan lain perlindungan yang bersifat normatif.
Perlindungan hukum yang bersumber dari peraturan perusahaan/ perjanjian kerja dan perjanjian kerja bersama (syarat-syarat kerja yang belum diatur atau peningkatan kualitas atas standar minimum  peraturan perundang-undangan), antara lain :
·         Fasilitas kesejahteraan (koperasi, klinik, perumahan, dan keluarga berencana), kantin, rekreasi, olah raga, tempat beribadah dan penitipan anak),
·         Gaji berkala dan tunjangan tetap,Bonus akhir tahun dan bonus berdasarkan prestasi,perlindungan yang ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan, perjanjian kerja.
Penggunaan sarana hukum yang bersifat otonom ini cenderung lebih mengadopsi (walapun tidak secara keseluruhan), atau penyesuaian diri yang bersifat tambal sulam dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Perlindungan hukum bagi pihak pengusaha yang bersumber dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, antara lain (aspek hukum) :
·         Upah tidak dibayar, jika pekerja tidak bekerja bukan atas kehendak pengusaha atau perusahaan (no pay, no work), 
·         Hak mutasi terhadap pekerja untuk kepentingan perusahaan,
·         Hak mengatur, dan perintah untuk melakukan pekerjaan,
·         Hak sanksi bagi pekerja yang terbukti melakukan pelanggaran perjanjian kerja,  peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
·         Pemutusan hubungan kerja bagi pekerja yang melakukan pelanggaran hukum,
·         Pemutusan hubungan kerja dalam masa percobaan,
·         Perlindungan yang bersifat normatif.
Ketentuan hukum yang memberi perlindungan bagi pengusaha dimanfaatkan oleh yang bersangkutan untuk kepentingan usahanya, sedangkan aturan hukum yang memberi perlindungan kepada pihak pekerja kurang dipatuhi pengusaha. Hal ini karena posisi tawar pekerja kurang dapat mengimbangi “kekuatan” pengusaha. Dalam hal ini peran pemerintah selaku pengawas bidang ketenagakerjaan diharapkan berfungsi  sebagai social control dan melaksanakan pengawasan/ penindakan terhadap pelanggaran hukum ketenagakerjaan.
Dengan demikian hukum ketenagakerjaan telah memenuhi persyaratan formil dan materiil sebagai hukum yang memberikan pengayoman, kepastian hukum (asas legalitas), serta sebagai salah satu pilar dalam suatu negara hukum yang menjunjung tinggi tegaknya supremasi hukum (the rule of law). Keberadaan hukum ketenagakerjaan medasarkan pada asas keseimbangan yang bernilai keadilan dan kemanfaatan, di mana kepentingan pekerja mendapat proteksi melalui peran pemerintah dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan penindakan terhadap perbuatan dan pelaku yang melakukan pelanggaran hukum dibidang ketenagakerjaan. Dari aspek perdata, dapat memanfaatkan sarana Pengadilan Hubungan Industrial, yang diawali penggunaan sarana bipartit, mediasi, atau konsiliasi, atau arbitrase, dan selanjutnya tahap proses pemeriksaan melalui Pengadilan Hubungan Industril dalam upaya menggapai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.

D.   PELAKSANAAN HUBUNGAN KERJA DI INDONESIA

Pasal 1 angka 15 UU no.13 th. 2003 disebutkan bahwa :

1.    Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsure-unsur pekerjaan , upah dan perintah,
2.    Hubungan kerja adalah suatu hubungan pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu tertentu namun waktu yangtidak tertentu.

Ø Perjanjian Kerja
Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.”
·      Pengertian luas dan lemah

1.      Sudikno Mertokusumo , “ perjanjian adalah subjek hokum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum .”
2.    Definisi pejanjian klasik , “ perjanjian adalah perbuatan hokum bukan hubungan hokum (sesuai dengan pasal 1313 perjanjian adalah perbuatan).”
1. pengertian perjanjian kerja
Dalam KUHPerdata , pasal 1601 titel VII A buku III tentang perjanjian untuk melakuakn pekerjaan yang menyatakan bahwa, “selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa yang diatur oleh ketentuan yang khusus untuk itu dan untuk syarat-syarat yang di perjanjikan dan jika itu tidak ada , oleh karena kebiasaan , maka ada dua macam perjanjian dengan mana pihak yang lain dengan menerima upah, perjanjian perburuhan dan pemborong pekerjaan.”
2. unsur-unsur dalam perjanjian kerja
KUH Perdata pasal 1320 (menurut pasal 1338 (1) ) menyatakan sahnya perjanjian  mereka sepakat untuk mengakibatkan diri yaitu:
·         Cakap untuk membuat suatu perikatan,
·          Suatu hal tertentu,
·          Suatu sebab yang halal,
M.G Rood (pakar hokum perburuhan dari belanda ), ada 4 unsur syarat perjanjian kerja antara lain :
1.    Adanya unsure work (pekerjaan),
2.    Adanya unsure service (pelayanan),
3.    Adanya unsure time (waktu ),
4.    Adanya unsure pay (upah ).
3. Bentuk Perjanjian Kerja
Dalam praktik di kenal 2 bentuk perjanjian yaitu :
·         Tertulis, di peruntuk perjanjian-perjanjian yang sifatnya tertentu atau adanya kesepakatan para pihak, bahwa perjanjian yang dibuatnya itu menginginkan dibuat secara tertulis, agar adanya kepastian hokum.
·         Tidak tertulis, bahwa perjnjian yang oleh undang-undahng tidak disyaratkan dalam bentuk tertulis.
4. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dlam Perjanjian Kerja
Subjek dari perjanjian kerja adalah orang-orang yang terikat oleh perjanjian yang di buatnya  Hak dan kewajiban subjek kerja, dimana hak merupakan suatu tuntutan &  keinginan yang di peroleh oleh subjek kerja ( pengusaha dan pekerja). sedangkan kewajiban adalah para pihak, disebut prestasi.
5. Berakhirnya Perjanjian Kerja
Alasan berakhirnya perjanjian kerja adalah :
·         Pekerja meninggal dunia,
·         Berakhir karena jangka waktu dalam perjanjian,
·          Adanya putusan pengadilan dan atau putusan atau penetapan lembaga penyelsaian perselisihan hubungan industrial,
·         Adanya keadaan atau kejadian yang di cantumkan dalam perjanjian kerja,
·         Pemutusan hubungan kerja
Istilah dan pengertian hubungan kerja yaitu :
1.    Deter mination , putusan hubungan kerja karena selesai atau berakhirnya kontrak kerja,
2.     Dissmisal, putusan hubungan kerja karena tindakan indisiplinerm
3.    Redudancy, pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan perkembangan tekhnologi,
4.    Retrechtment, pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan masalah ekonomi,
5.    F.X. Djumialdji, Pemutusan hubungan kerja adalah suatu langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu.
Pasal 1 angka 25 UU no.13 thn. 2003, PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena sesuatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara perkara (buruh dan pengusaha).
Ø Macam-macam pemutusan kerja
·         Pemutusan hubungan kerja demi hukum
hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berhenti dengan sendirinya yang mana kedua belah pihak hanya pasif saja , tanpa suatu tindakan atau perbuatan salah satu pihak. Pemutusan hubungan kerja ini terjadi pada saat :
1.    Perjanjian kerja pada waktu tertentu, (pasal 1.1 Kep. Men tenaga kerja & transmigrasi no: Kep.100/ Men/ V/ 2004 tentang keterangan pelaksanaan perjanjian kerja , waktu tertentu,
2.    Pekerja meninggal dunia, pasal 61 ayat 1 huruf a UU no.13 thn. 2003 ditegaskan bahwa perjanjian kerja berakhir apabila pekerja meninggal dunia namun hak-hak nya bisa di berikan pada ahli waris (61.a(5).
·         Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja dapat terjadi karena :
1.    Masa percobaan,
2.    Meninggalnya pengusaha,
3.    Perjanjian kerja untuk waktu tidak tentu,
4.    Pekerja dapat memutuskan hubungan kerja sewaktu-waktu.
·         Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha yaitu dengan membayarkan uang pesangon, sebagai upah akhir.
·         Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
Keputusan yang di tetapkan oleh pengadilan tentang pemutusan hubungan kerja dalam pengadilan perdata yang biasa berdasarkan surat permohonan oleh pihak yang bersangkutan.karena alas an – alas an penting.
Penyelesaian hubungan kerja dibedakan atas 2 bagian yaitu :
1.    Menurut sifatnya yaitu :
·         Perselisihan kolektif,
·         Perselisihan perseorangan
2.    Menurut jenisnya yaitu :
·         Peselisihan jenisnya,
·         Perselisihan kepentingan
Sistem pengupahan di pandang dari sudut nilainya upah dibedakan antara lain :
a.    Upah nominal adalah jumlah yang berupa uang.
b.    Upah riil adalah banyaknya barang yang dapat dibeli oleh jumlah uang itu.
Menurut cara menetapkan upah dibagi kedalam system-sistem pengupahan , sebagai berikut :
a.    Sistem upah jangka waktu,
b.    Upah yang ditetapkan menurut jangka waktu pekerja,
c.    Sistem upah potongan.

 

















BAB III 

PENUTUP

A.    KESIMPULAN 

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu :
·      Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan ketenagakerjaan itu sendiri adalah segala hal yang  berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
·      Hukum ketenagakerjaan menurut Imam Soepomo diartikan sebagai himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
·      Tujuan hukum ketenagakerjaan, yakni menjaga ketertiban jalinan hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha. Dalam rangka menjaga ketertiban, perlu pedoman berperilaku yang berbentuk hukum normatif (kepastian hukum), dan diarahkan pada cita hukum, yaitu keadilan maupun kemanfaatan. Ketiga nilai tersebut melandasi tegaknya hukum ketenagakerjaan, disamping itu Indonesia sebagai negara hukum memberlakukan kasta yang sama dihadapan hukum (Equality before of the Law).
·      Hukum ketenagakerjaan dalam konstitusi hukum (Indonesia) merupakan implementasi dari falsafah dasar, yakni Pancasila dan teori dasar (UUD. 1945). Nilai dasar tersebut mempunyai aspek kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan. Kepastian ini sekaligus mencerminkan nilai keadilan, yang memberi kemanfaatan bagi kelangsungan hidup pekerja dan pengusaha dalam koridor perusahaan.

B.    SARAN

Sebaiknya apabila melakukan suatu perjanjian kerja haruslah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian dalam KUHPerdata, karena itu merupakan pokok utama dalam suatu perjanjian, selain syarat sahnya suatu perjanjian kerja yang wajib dipenuhi unsur kerja juga harus dipenuhi supaya perjanjian kerja itu berjalan sesuai undang-undang yang mengatur.   

DAFTAR  PUSTAKA 


·         Djoko Heroe S. 2006. Eksistensi Hukum Ketenagakerjaan Dalam Menciptakan Hubungan Kemitraan Antara Pekerja Dengan Pengusaha, Disertasi, Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
·         Koko Kosidin. 1996. Aspek-Aspek Hukum Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Di Lingkungan Perusahaan Perseroan, Disertasi, Fakultas Hukum Univ. Pajajaran, Bandung.
·         Marzuki Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
·         Rahardjo S. 2000. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta.
·         Sri Soemantri. 1977. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni, Bandung.
·         Hutagalung TH. 1995. Hukum dan Keadilan dalam Pemikiran Filsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung.